Selasa, 24 Juli 2012

BAB II KETERANGAN SAKSI SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA A. Syarat Sahnya Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Agar supaya keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta memiliki kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi beberapa ketentuan, yakni sebagai berikut : 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji. Redaksi Pasal 160 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai agamanya masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Kapan seorang saksi mengucapkan sumpah atau janji tersebut? Dalam ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan oleh saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar. Alasan bahwa sumpah yang diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan di sidang pengadilan adalah : a. Saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan. b. Saksi akan mengurangi niat untuk mengingkari janji c. Bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan pembuktian. Makna sumpah atau janji yang diucapkan oleh saksi sesudah memberikan keterangan di depan sidang pengadilan ialah bahwa sumpah tersebut bersifat menguatkan keterangannya, kelemahannya apabila saksi memberi keterangan tidak jujur pada waktu memberi keterangan yang diberikan di depan persidangan. Cara penyumpahan seperti ini disebut assetoris. Mendasari rumusan Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP maka seorang saksi pada prinsipnya wajib mengucapkan sumpah sebelum saksi memberikan keterangan, namun apabila dalam hal dianggap perlu oleh pengadilan, pengucapan sumpah atau janji yang diberikan oleh saksi dapat dilakukan sesudah saksi memberi keterangan. Namun, apabila terdapat saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka yang bersangkutan dapat dikenakan sandera berdasarkan penetapan hakim ketua sidang dan penyanderaan kepada saksi dapat dikenakan paling lama 14 (empat belas) hari (Pasal 161 KUHAP). Tujuan utama dilakukan penyanderaan kepada saksi adalah merupakah peringatan bagi saksi akan kewajibannya untuk mengucapkan sumpah. Sebenarnya peringatan untuk mengucapkan sumpah dapat ditempuh ketua sidang dengan jalan memberi penjelasan dan penyuluhan kepada saksi. Penyanderaan bukan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hakim. Akan tetapi, setelah diberikan penyuluhan dan peringatan, dan memberi kesempatan kepada saksi untuk memikirkannya dalam suatu tenggang yang memadai (tiga hari atau seminggu), namun tetap menolak mengucapkan sumpah, sehingga wajar terhadapnya dikeluarkan perintah penyanderaan. Saksi yang dikenakan sandera harus segera dibebaskan dari Rutan sekalipun masa penetapan penyanderaan belum lampau, apabila saksi mengeluarkan pernyataan atau membuat pernyataan tertulis, bahwa saksi akan bersedia mengucapkan sumpah atau janji pada persidangan yang akan datang. Umpamanya seorang saksi dikenakan sandera 10 (sepuluh) hari. Setelah 2 (dua) hari menjalani sandera, saksi membuat pernyataan akan kesediaannya mengucapkan sumpah pada hari sidang yang telah ditentukan. Dalam hal ini, ketua sidang harus segera mengeluarkan surat penetapan pembebasan. Seandainya nanti saksi yang dibebaskan itu ternyata menolak mengucapkan sumpah, kepadanya masih tetap dapat dikeluarkan surat penetapan penyanderaan sampai batas maksimum. 2. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti dan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, meskipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, mendengar bahwa keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman kantor pengadilan atau disampaikan oleh seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya. Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. Demikian juga, keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang pengadilan. Apabila terdapat perbedaan antara keterangan seorang saksi yang dinyatakan di depan sidang pengadilan dengan keterangan yang diterangkan atau dinyatakan saksi dihadapan pemeriksaan oleh penyidik, maka hakim wajib menanyakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan keterangan tersebut dicatat. Oleh karena itu, agar supaya keterangan seorang saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, maka keterangan tersebut harus diberikan atau dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sebagaimana ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP. 3. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti Tidak semua keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri. Apabila ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 185 ayat (1) maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa : a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam perkara pidana yang terjadi. Keterangan saksi yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti (Pasal 185 KUHAP). Berkaitan dengan kesaksian de auditu, Andi Hamzah mengatakan bahwa : “Kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak menjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patuh tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain.” Berhubung tidak dicantumkannya pengamatan hakim sebagai salah satu alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, Andi Hamzah mengatakan bahwa kesaksian de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk yang penilaian dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada hakim. Kesaksian de auditu sebagai alat bukti kesaksian, ditolak juga oleh S.M. Amin yang mengatakan bahwa memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti bahwa syarat didengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang di luar sumpah. Misalnya A menceritakan kepada B bahwa A melihat C pada suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka yang membayangkan kemarahan. Keesokkan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu jalan sepi dengan beberapa tusukan dibadan. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas pembunuhan D, maka B didengar keterangannya sebagai saksi dan menceritakan apa yang didengarnya dari A yang tidak didengar keterangannya karena telah meninggal dunia. Ini berarti, bahwa keterangan-keterangan yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah keterangan-keterangan saksi B, bukan keterangan A yang seharusnya didengar sebagai saksi. Hal ini berarti, keterangan-keterangan seseorang yang tidak pernah dijumpai hakim, dijadikan alat bukti. Pokok pikiran supaya kesaksian harus diucapkan dihadapan hakim sendiri bertujuan supaya hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasar tinjauan terhadap pribadi saksi, gerak-geriknya dan lain-lain. Suatu hal yang sukar dipertanggungjawabkan dan membuka pintu untuk memperbesar jumlah putusan hakim yang didasarkan keterangan-keterangan yang tidak berdasar kenyataan-kenyataan. Oleh karena itu, ini bukan yang tidak diketahui oleh umum, benar tidaknya sesuatu keterangan yang diucapkan seseorang, apalagi bila yang bersangkutan termasuk golongan yang belum dapat dikatakan golongan cerdas, sedikit banyak tergantung iklim tempat di mana yang bersangkutan memberi keterangan-keterangan itu. Keterangan de auditu, rasanya lebih tepat, tidak diberi daya bukti, yang dapat dianggap mempunyai dasar kebenaran. Dalam keterangan demikian, hanyalah kenyataan diceritakan keterangan-keterangan tersebut kepada saksi de auditu. Lebih lanjut, Wiryono Prodjodikoro, sejajar pendapatnya dengan Andi Hamzah, dengan mengatakan sebagai berikut : “....... Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik, bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.....” Dalam yurisprudensi Indonesia, ada yang menerima dan ada pula yang menolak kesaksian de auditu. Putusan (ketetapan) Landraad Teluk Betung, 14 Juli 1938 (T. 148 halaman 1683) menolak memberi daya bukti kesaksian demikian, dengan alasan bahwa suatu kesaksian de auditu tidak dapat dianggap mempunyai daya bukti sah. Putusan tersebut dikuatkan oleh Raad van Justice di Batavia. Sebaliknya ketetapan Landraad Meester Cornelis, 27 Januari 1939, pada pokoknya menyetujui memberi daya bukti kepada kesaksian de auditu, dengan alasan bahwa keterangan-keterangan korban yang telah meninggal diberi oleh saksi-saksi yang mendekatinya, segera setelah berlaku atas serangan atas dirinya yang disebut pula namanya, mempunyai juga daya bukti, ditilik dari keadaan disekitar pemberian keterangan-keterangan. Ketetapan ini dikuatkan oleh Raad van Justice di Batavia. Dengan demikian, nyatalah bahwa kesaksian de auditu tidak dapat dirumuskan secara jelas bahwa kesaksian de auditu diterima ataukah tidak sebagai alat bukti, tergantung dari kenyataan-kenyataan kasus demi kasus. Keberatan terhadap kesaksian de auditu (testimonium de auditu) dahulu didasarkan kepada asas bahwa seluruh proses pembuktian langsung di depan hakim dan terdakwa mengikuti seluruh proses itu, yang merupakan pembuktian terbalik. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Ketentuan ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1984, Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Dalam putusan tersebut, ditegaskan bahwa orang tua terdakwa, polisi dan jaksa hanya menduga, tapi dugaan itu semua merupakan kesimpulan sendiri yang tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah. Mengenai isi hal apa yang diterangkan oleh saksi, tidaklah diatur oleh undang-undang. Berkaitan dengan ini, Adami Chazawi mengatakan bahwa : “........Asalkan bukan pendapat, keterangan saksi boleh mengenai segala hal atau segala sesuatu, asalkan keterangan itu penting dan relevan dengan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Pada pokoknya, isi keterangan saksi adalah fakta yang berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan, tentang terdakwa yang melakukannya dan tentang kesalahan terdakwa melakukannya. Keterangan saksi yang berhubungan dengan pembuktian telah terjadinya tindak pidana adalah semua keterangan yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Artinya, keterangan yang memuat tentang fakta-fakta yang membuktikan tentang adanya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.” Keterangan saksi yang berhubungan dengan pembentukan keyakinan hakim bahwa terdakwa yang melakukannya adalah semua keterangan yang memuat fakta-fakta mengenai locus dan tempus tindak pidana berikut fakta-fakta yang menandakan atau menunjukan bahwa terdakwalah yang melakukannya atau ikut terlibat melakukannya. Sedangkan isi keterangan saksi yang diperlukan hakim untuk membentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa, adalah semua keterangan yang menyangkut hal keadaan batin terdakwa sebelum berbuat, seperti kehendak dan pengetahuan mengenai segala hal baik mengenai perbuatan yang hendak dilakukannya maupun obyek tindak pidana serta segala sesuatu yang ada disekitar perbuatan dan obyek perbuatan sebagaimana yang ada dalam rumusan tindak pidana. 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Prinsip minimum pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Agar supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa maka harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Jadi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP maka keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lainnya atau kesaksian tunggal maka kesaksian seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa satu saksi bukan merupakan saksi (unus testis nullus testis). Ketentuan tersebut di atas, dapat disimpangi berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (3) KUHAP, jika seandainya terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya maka dalam hal ini keterangan seorang saksi saja sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa karena disamping keterangan saksi tunggal, telah dicukupi dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa. Dengan demikian, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Mencermati uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah : a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh keterangan dua orang saksi. b. Atau kalau keterangan saksi hanya terdiri dari seorang saja atau kesaksian tunggal maka kesaksian tunggal tersebut harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain. Penerapan dalam praktek peradilan pidana, mengenai ketentuan dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan yang telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juni 1993, Nomor : 11 K/Pid/1982. Oleh Pengadilan Tinggi tersebut, terdakwa III memungkiri ikut melakukan pemukulan terhadap korban, sedangkan saksi L. Manurung hanya melihat terdakwa III memegang korban. Adapun saksi R.br. Gultom dan O.S.br. Siahaan adalah keluarga dekat korban, karena itu keterangan mereka dinilai sangat subyektif dan meragukan. Berdasarkan alasan tersebut, sekalipun terdakwa III mengakui melihat pemukulan yang dilakukan terdakwa I dan V dari jarak 15 meter, hal itu tidak dapat memperkuat keterangan saksi L. Manurung. Dengan demikian, dakwaan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah berdasar alat bukti yang ditentukan undang-undang, karena hanya ada seorang saksi saja. Oleh karena itu, agar supaya keterangan saksi tunggal mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka keterangan saksi tunggal tersebut harus dicukupi dengan salah satu alat bukti yang lain, baik berupa keterangan ahli, surat, petunjuk maupun dengan keterangan/pengakuan terdakwa. Akan tetapi ketentuan tersebut, hanya berlaku dalam proses pemeriksaan perkara acara biasa. Dalam pemeriksaan perkara acara cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah, seperti yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP, maka dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat, keterangan seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Sering terjadi kekeliruan pendapat sementara orang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian adalah keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kuantitatif telah mempunyai batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan satu sama lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya di sidang pengadilan hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu berdiri sendiri tanpa hubungan satu dengan yang lain. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, D. Simons, menyatakan bahwa : “Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan seorang saksi untuk suatu unsur (bestanddeel) delik dan tidak bertentangan dengan Pasal 342 ayat (2) Ned. Sv.” Penerapan dalam praktek peradilan pidana terhadap uraian tersebut di atas, dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 17 April 1978, Nomor : 28 K/Kr./1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam perkara ini, ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar keterangannya di sidang pengadilan. Akan tetapi, dari sekian banyak saksi tersebut, hanya satu saksi yang dapat dinilai sebagai alat bukti, sedang saksi-saksi selebihnya hanya bersifat keterangan yang berdiri sendiri tanpa saling berhubungan. Sebagai alat bukti petunjuk saja tidak mencukupi. Mahkamah Agung Republik Indonesia, menilai keterangan saksi yang banyak itu, sama sekali tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Disinilah dituntut kemampuan dan ketrampilan penyidik untuk mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif dapat memberikan keterangan yang saling berhubungan. Bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Uraian tersebut di atas, merupakan kehendak dari ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang pada intinya menegaskan bahwa keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dengan demikian, keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa yang berdiri sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti atau paling-paling dikategorikan sebagai saksi tunggal yang tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan tidak cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika keterangan para saksi yang banyak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, mengakibatkan keterangan yang saling bertentangan itu, harus disingkirkan sebagai alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum, keterangan semacam itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian. B. Cara Menilai Kebenaran Keterangan Saksi Dalam menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara keterangan-keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, menuntut kewaspadaan hakim untuk sungguh-sungguh memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yakni : 1. Persesuaian keterangan para saksi. Standar penilaian ini sangat sesuai dan berhubungan erat dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) yang menyatakan bahwa keterangan satu saksi saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam doktrin dikenal dengan istilan unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukanlah saksi. Oleh karena itu, agar keterangan seorang saksi dapat berharga haruslah bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim, sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. Jangan seperti yang sering terjadi penguraian analisis persesuaian itu hanya diuraikan secara mengambang dan deskriptif. Malah kadang-kadang analisis persesuaian itu hanya tertuang dalam suatu ungkapan atau kesimpulan singkat yang berbunyi bahwa keterangan para saksi telah memperhatikan persesuaian, oleh karena itu kesalahan terdakwa telah terbukti dan kalau dicari persesuaian itu dalam pertimbangan, tidak dijumpai. 2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain. Dalam konteks ini, jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan pengadilan terdiri dari saksi dengan alat bukti lain, baik berupa ahli, surat atau petunjuk. Hakim dalam sidang maupun dalam pertimbangannya, harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi itu dengan alat bukti yang lain tersebut. Lebih lanjut, Adami Chazawi mengatakan bahwa standar penilaian keterangan saksi kedua sama dengan standar yang pertama. Dari ketentuan standar penilaian yang kedua ini dapatlah disimpulkan bahwa dalam menggunakan alat bukti keterangan saksi, bukan menjadi keharusan untuk lebih dari satu. Satu saja sudah cukup, misalnya keterangan saksi korban, tetapi harus didukung atau bersesuaian dengan setidak-tidaknya satu alat bukti lainnya, misalnya keterangan terdakwa atau alat bukti petunjuk. Artinya, harus setidak-tidaknya didukung oleh 2 (dua) alat bukti yang sah. Dari dua alat bukti yang sah ini hakim boleh membentuk keyakinannya. 3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu. Dalam konteks ini, hakim harus mencari alasan saksi, mengapa saksi memberikan keterangan seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi. Misalnya saksi menerangkan, bahwa saksi tidak dapat memastikan apakah benar-benar terdakwa yang dilihatnya pada saat peristiwa pidana terjadi, akan tetapi baik dari raut muka, tinggi badan serta rambutnya, sangat bersesuaian betul dengan terdakwa. Dalam contoh ini, saksi memberikan keterangan dengan suatu pernyataan keadaan yang kurang pasti. Untuk itu hakim harus menggali alasan saksi. Mungkin alasan saksi benar-benar mempunyai dasar alasan yang diterima akal. Umpamanya, sebagai saksi tidak berani memastikan terdakwalah yang dilihatnya sebagai pelaku tindak pidana, karena kejadian itu terjadi pada waktu malam, sehingga yang dapat dilihatnya hanya ciri-ciri pelaku saja. Atau sudah lama penglihatan saksi kabur yang menyebabkan dia tidak dapat mengenal dengan pasti pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, Adami Chazawi mengatakan bahwa : “Agak berbeda dengan alasan didapatnya pengetahuan mengenai suatu peristiwa pidana yang diterangkan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP. Apa yang dimaksud dengan alasan pengetahuan di sini adalah segala sesuatu yang menjadi sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang peristiwa yang diterangkan saksi. Menurut pasal ini ada kewajiban saksi setiap kali menerangkan tentang sesuatu kejadian atau peristiwa, ia harus menerangkan juga sebab apa saksi mengetahui tentang peristiwa itu. Ratio ketentuan ini adalah untuk menghindarkan saksi memberikan keterangan yang berupa pendapat atau rekaan. Agar segala sesuatu keterangan saksi adalah segala hal yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri atau dialaminya sendiri.” Lebih lanjut, Adami Chazawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu dalam Pasal 185 ayat (6) huruf c ini adalah berupa alasan yang terselubung yang tidak perlu diucapkan secara tegas di depan sidang, tetapi merupakan hasil dari pemikiran atau analisis atas fakta-fakta yang terungkap dalam sidang. Berkaitan dengan alasan saksi memberikan keterangan tertentu, dalam tataran praktek peradilan pidana, dapat dilihat putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1982, Nomor : 185 K/Pid/1982. Dalam putusan ini Mahkamah Agung menguatkan menyetujui pertimbangan Pengadilan Tinggi Medan yang menilai keterangan saksi R. Br. Gultom dan O.S. br. Siahaan, tidak mempunyai nilai pembuktian. Alasan yang mendasari pendapat itu, bertitik tolak dari anggapan adanya keadaan tertentu yang mendorong dan melatarbelakangi saksi-saksi memberi keterangan yang memberatkan terdakwa III, yakni kedua saksi adalah keluarga dekat korban. Berdasarkan latar belakang itu, maka Pengadilan Tinggi menilai keterangan kedua saksi dimaksud merupakan keterangan yang bersifat subyektif dan meragukan. Terlepas dari setuju atau tidak, telah bertitik tolak dari kemungkinan adanya hal-hal yang mendorong saksi sengaja memberatkan kesalahan terdakwa III. Titik tolak kemungkinan itu menurut Pengadilan Tinggi, karena kedua saksi adalah keluarga dekat korban. 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap keterangan saksi. Mendasari rumusan Pasal 185 ayat (6) huruf d dapat disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) keadaan/faktor yang dapat mempengaruhi tentang kebenaran keterangan saksi, yaitu : a. Cara hidup saksi b. Kehidupan kesusilaan saksi c. Segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi. Rupanya pembentuk undang-undang berpendapat bahwa banyak hal yang mempengaruhi orang untuk berkata yang benar. Bagi tiap-tiap orang itu tidak sama. Setidak-tidaknya dapat dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal tersebut. Oleh karena itu, Pasal 185 ayat (6) memberi petunjuk agar dalam hal menilai keterangan saksi perlu memperhatikan tiga hal/keadaan yang dapat mempengaruhi kebenaran tentang yang diterangkan saksi. Tiga keadaan tersebut tidak diterangkan lebih lanjut dalam penjelasan pasal yang bersangkutan. Dalam cara hidup ini masuk banyak hal yang menyangkut pribadi seorang/saksi. Termasuk pekerjaan atau cara yang bersangkutan mencari nafkah, pendidikannya, hubungan sosial, kedudukan sosial dalam masyarakat, kebiasaan atau hobi, sifat pribadi, akhlak, ketakwaan dan keimanan, kegiatan sehari-hari, pengalaman hidupnya dan lain sebagainya. Kehidupan kesusilaan adalah segala hal yang berhubungan dengan masalah kelamin atau nafsu birahi. Sifat pribadi yang berhubungan dengan masalah ini misalnya, suka kawin dan tidak lama meninggalkan istri dan anaknya begitu saja, suka jajan, suka berjudi, pemabuk dan lain sebagainya. Segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi adalah segala sesuatu di luar cara hidup dan kesusilaan saksi, tetapi keadaan ini menurut akal dapat mempengaruhi kualitas keterangan saksi. Misalnya, pengalaman hidup saksi, pendidikan saksi dan lain sebagainya. Selain 4 (empat) hal tersebut di atas, menurut Adami Chazawi, dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim perlu juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi. Redaksi Pasal 164 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : “Setiap kali seorang saksi memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.” Tanggapan terdakwa atas keterangan saksi dapat diperhatikan dalam menilai keterangan saksi tersebut. Walaupun sifatnya bukan merupakan keharusan sebagaimana ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, tetapi dalam praktek acapkali pula menjadi pertimbangan, terutama bagi jaksa penuntut umum dimuat dalam requisitoir yang dibuatnya. Hal ini dapat diterima, karena pembenaran terdakwa atas keterangan saksi dapat dianggap sebagai alat bukti keterangan terdakwa apabila disertai dengan penjelasan-penjelasan atau alasan secukupnya dan masuk akal. 2. Persesuaian keterangan saksi di sidang dengan keterangan saksi di penyidikan. Walaupun persesuaian keterangan saksi di penyidikan bukan sebagai syarat dari kekuatan bukti suatu keterangan saksi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Namun tidaklah dilarang apabila hakim dalam menilai keterangan saksi dengan memperhatikan persesuaian pada keterangan yang bersangkutan di tingkat penyidikan. Pasal 163 KUHAP mengisyaratkan tentang hal itu. Pertimbangan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 163 KUHAP yang memerintahkan pada hakim untuk mengingatkan saksi jika keterangannya di sidang berbeda dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Akan tetapi hakim tidak perlu meminta saksi menerangkan alasan mengapa berbeda, hakim hanya meminta pada panitera agar mencatat keterangan perbedaan itu. Tentu ada maksud dari ketentuan Pasal 163 KUHAP ini. Maksud ketentuan Pasal 163 KUHAP, tiada lain agar hakim dalam menilai keterangan saksi perlu memperhatikan bagaimana keterangan saksi di tingkat penyidikan. Tentulah dalam memperhatikan dan menimbang tentang perbedaan itu, hakim perlu memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, artinya lebih condong pada keterangan di sidang pengadilan dengan mengabaikan keterangan saksi di tingkat penyidikan. Namun, bukan larangan jika hakim mempertimbangkan sebaliknya. Bergantung kepada alasan yang digunakan hakim dalam pertimbangannya tersebut dengan menghubungkannya pada fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti lainnya. Apabila hakim mengambil pertimbangan dengan mengabaikan keterangan di tingkat penyidikan, tentu dibenarkan oleh ketentuan Pasal 185 KUHAP. Memang itu landasannya, akan tetapi ketentuan Pasal 185 KUHAP ini harus diartikan bahwa setiap keterangan saksi di sidang adalah bernilai pembuktian. Bukan demikian maksudnya. Pasal 185 KUHAP ini harus diartikan bahwa hanya keterangan saksi di sidang saja yang boleh dipertimbangkan dalam hal untuk membentuk keyakinan. Dapat digunakan hakim apabila keterangan saksi tersebut memenuhi syarat-syarat untuk berharganya keterangan saksi tersebut di atas. Apabila tidak memenuhi syarat, tentulah harus diabaikan. Demikian juga, jika keterangan saksi di sidang bertentangan dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Keadaan tidak bersesuaian boleh dijadikan dasar pertimbangan untuk mengabaikan keterangan saksi di sidang, tetapi tidak boleh dijadikan dasar pertimbangan dalam hal hakim membentuk keyakinannya. Mengabaikan keterangan saksi di sidang yang kebetulan berbeda dengan keterangannya di tingkat penyidikan, tidak boleh dianggap sebagai pembenaran atas keterangan di tingkat penyidikan dan sebagai dasar untuk mengabaikan keterangan saksi di sidang saja. C. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Ditinjau dari segi sah atau tidaknya keterangan saksi yang diberikan dalam sidang persidangan, keterangan saksi dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) jenis : 1. Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah. Mengenai keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, bisa terjadi : a. Karena saksi menolak bersumpah. Kemungkinan saksi menolak untuk memberikan keterangan di bawah sumpah bisa terjadi sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP yang menerangkan bahwa : 1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. 2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam konteks ini, bahwa sekalipun penolakan untuk bersumpah atau berjanji tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap menolak untuk mengucapkan sumpah/janji sehingga pemeriksaan terhadap saksi dapat dilakukan. Dalam keadaan seperti ini, menurut ketentuan dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP, nilai keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan keyakinan hakim, apabila pembuktian yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah. Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata tidak dapat dihadirkan dipersidangan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP maka nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim datau dapat bernilai dan dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. c. Karena hubungan kekeluargaan. Keterangan saksi tanpa disumpah lazimnya karena terdapat hubungan keluarga, sebagaimana Pasal 168, Pasal 169, Pasal 185 ayat (7) dan Pasal 171 KUHAP. Adapun redaksi pasal-pasal tersebut di atas adalah : Pasal 168 KUHAP : Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. b. Saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 169 KUHAP : (1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah. (2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Pasal 185 ayat (7) KUHAP : Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Pasal 171 KUHAP : Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah : a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. Berdasarkan redaksi pasal-pasal tersebut di atas, maka keterangannya tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, tetapi dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim atau bernilai sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah sepanjang mempunyai persesuaian dan telah memenuhi batas minmum pembuktian. . Lebih lanjut, apakah hakim terikat untuk mempergunakan keterangan saksi tanpa sumpah atau janji, jika antara keterangan itu terdapat saling persesuaian ? Tidak, sama sekali hakim tidak terikat untuk mempergunakannya, tergantung kepada penilaian hakim, dalam arti hakim bersifat bebas untuk mempergunakannya tetapi sebaliknya dapat mengesampingkannya. Hakim tidak terikat untuk menilainya dan dapat dipergunakan sebagai tambahan pembuktian atau menguatkan keyakinan maupun sebagai petunjuk. 2. keterangan saksi yang disumpah. Dalam konteks ini, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa bukan hanya unsur sumpah yang melekat pada keterangan saksi, agar keterangan saksi itu bernilai sebagai alat bukti yang sah, harus dipenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, yakni : a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa saksi akan menerangkan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. b. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan menyebut secara jelas sumber pengetahuannya. c. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. d. Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah (unus testis nullus testis), karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Lebih lanjut, M. Yahya Harahap, mengatakan bahwa dengan dipenuhinya syarat sahnya keterangan saksi tersebut, dengan sendirinya pula pada keterangan saksi tersebut melekat nilai kekuatan pembuktian. Mengenai sampai sejauh mana nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, M. Yahya Harahap menjelaskan sebagai berikut : a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya bahwa tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Dengan demikian, alat bukti keterangan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi. b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim, artinya hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan saksi. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran yang melekat pada keterangan saksi dan hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan saksi tersebut. Jika seandainya undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, maka hakim tidak boleh menilai kekuatan pembuktiannya, hakim secara bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan, tidak lagi berwenang menilainya secara bebas. Namun dalam hal, hakim mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian, harus benar-benar bertanggung jawab. Jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus kepada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi. Kebebasan penilaian tanpa diawasi rasa tangggung yang tinggi, bisa berakibat orang yang jahat akan mengenyam keuntungan. Orang yang tak bersalah akan mengalami kesengsaraan. Oleh karena itu kebebasan hakim dal

  • A A.Syarat Sahnya Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Agar supaya keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta memiliki kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi beberapa ketentuan, yakni sebagai berikut : 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji. Redaksi Pasal 160 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai agamanya masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Kapan seorang saksi mengucapkan sumpah atau janji tersebut? Dalam ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan oleh saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar. Alasan bahwa sumpah yang diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan di sidang pengadilan adalah : a. Saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan. b. Saksi akan mengurangi niat untuk mengingkari janji c. Bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan pembuktian. Makna sumpah atau janji yang diucapkan oleh saksi sesudah memberikan keterangan di depan sidang pengadilan ialah bahwa sumpah tersebut bersifat menguatkan keterangannya, kelemahannya apabila saksi memberi keterangan tidak jujur pada waktu memberi keterangan yang diberikan di depan persidangan. Cara penyumpahan seperti ini disebut assetoris. Mendasari rumusan Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP maka seorang saksi pada prinsipnya wajib mengucapkan sumpah sebelum saksi memberikan keterangan, namun apabila dalam hal dianggap perlu oleh pengadilan, pengucapan sumpah atau janji yang diberikan oleh saksi dapat dilakukan sesudah saksi memberi keterangan. Namun, apabila terdapat saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka yang bersangkutan dapat dikenakan sandera berdasarkan penetapan hakim ketua sidang dan penyanderaan kepada saksi dapat dikenakan paling lama 14 (empat belas) hari (Pasal 161 KUHAP). Tujuan utama dilakukan penyanderaan kepada saksi adalah merupakah peringatan bagi saksi akan kewajibannya untuk mengucapkan sumpah. Sebenarnya peringatan untuk mengucapkan sumpah dapat ditempuh ketua sidang dengan jalan memberi penjelasan dan penyuluhan kepada saksi. Penyanderaan bukan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hakim. Akan tetapi, setelah diberikan penyuluhan dan peringatan, dan memberi kesempatan kepada saksi untuk memikirkannya dalam suatu tenggang yang memadai (tiga hari atau seminggu), namun tetap menolak mengucapkan sumpah, sehingga wajar terhadapnya dikeluarkan perintah penyanderaan. Saksi yang dikenakan sandera harus segera dibebaskan dari Rutan sekalipun masa penetapan penyanderaan belum lampau, apabila saksi mengeluarkan pernyataan atau membuat pernyataan tertulis, bahwa saksi akan bersedia mengucapkan sumpah atau janji pada persidangan yang akan datang. Umpamanya seorang saksi dikenakan sandera 10 (sepuluh) hari. Setelah 2 (dua) hari menjalani sandera, saksi membuat pernyataan akan kesediaannya mengucapkan sumpah pada hari sidang yang telah ditentukan. Dalam hal ini, ketua sidang harus segera mengeluarkan surat penetapan pembebasan. Seandainya nanti saksi yang dibebaskan itu ternyata menolak mengucapkan sumpah, kepadanya masih tetap dapat dikeluarkan surat penetapan penyanderaan sampai batas maksimum. 2. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti dan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, meskipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, mendengar bahwa keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman kantor pengadilan atau disampaikan oleh seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya. Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. Demikian juga, keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang pengadilan. Apabila terdapat perbedaan antara keterangan seorang saksi yang dinyatakan di depan sidang pengadilan dengan keterangan yang diterangkan atau dinyatakan saksi dihadapan pemeriksaan oleh penyidik, maka hakim wajib menanyakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan keterangan tersebut dicatat. Oleh karena itu, agar supaya keterangan seorang saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, maka keterangan tersebut harus diberikan atau dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sebagaimana ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP. 3. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti Tidak semua keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri. Apabila ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 185 ayat (1) maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa : a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam perkara pidana yang terjadi. Keterangan saksi yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman saksi sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti (Pasal 185 KUHAP). Berkaitan dengan kesaksian de auditu, Andi Hamzah mengatakan bahwa : “Kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak menjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patuh tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain.” Berhubung tidak dicantumkannya pengamatan hakim sebagai salah satu alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, Andi Hamzah mengatakan bahwa kesaksian de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti petunjuk yang penilaian dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada hakim. Kesaksian de auditu sebagai alat bukti kesaksian, ditolak juga oleh S.M. Amin yang mengatakan bahwa memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti bahwa syarat didengar, dilihat, atau dialami sendiri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang di luar sumpah. Misalnya A menceritakan kepada B bahwa A melihat C pada suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka yang membayangkan kemarahan. Keesokkan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu jalan sepi dengan beberapa tusukan dibadan. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan atas pembunuhan D, maka B didengar keterangannya sebagai saksi dan menceritakan apa yang didengarnya dari A yang tidak didengar keterangannya karena telah meninggal dunia. Ini berarti, bahwa keterangan-keterangan yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah keterangan-keterangan saksi B, bukan keterangan A yang seharusnya didengar sebagai saksi. Hal ini berarti, keterangan-keterangan seseorang yang tidak pernah dijumpai hakim, dijadikan alat bukti. Pokok pikiran supaya kesaksian harus diucapkan dihadapan hakim sendiri bertujuan supaya hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasar tinjauan terhadap pribadi saksi, gerak-geriknya dan lain-lain. Suatu hal yang sukar dipertanggungjawabkan dan membuka pintu untuk memperbesar jumlah putusan hakim yang didasarkan keterangan-keterangan yang tidak berdasar kenyataan-kenyataan. Oleh karena itu, ini bukan yang tidak diketahui oleh umum, benar tidaknya sesuatu keterangan yang diucapkan seseorang, apalagi bila yang bersangkutan termasuk golongan yang belum dapat dikatakan golongan cerdas, sedikit banyak tergantung iklim tempat di mana yang bersangkutan memberi keterangan-keterangan itu. Keterangan de auditu, rasanya lebih tepat, tidak diberi daya bukti, yang dapat dianggap mempunyai dasar kebenaran. Dalam keterangan demikian, hanyalah kenyataan diceritakan keterangan-keterangan tersebut kepada saksi de auditu. Lebih lanjut, Wiryono Prodjodikoro, sejajar pendapatnya dengan Andi Hamzah, dengan mengatakan sebagai berikut : “....... Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik, bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.....” Dalam yurisprudensi Indonesia, ada yang menerima dan ada pula yang menolak kesaksian de auditu. Putusan (ketetapan) Landraad Teluk Betung, 14 Juli 1938 (T. 148 halaman 1683) menolak memberi daya bukti kesaksian demikian, dengan alasan bahwa suatu kesaksian de auditu tidak dapat dianggap mempunyai daya bukti sah. Putusan tersebut dikuatkan oleh Raad van Justice di Batavia. Sebaliknya ketetapan Landraad Meester Cornelis, 27 Januari 1939, pada pokoknya menyetujui memberi daya bukti kepada kesaksian de auditu, dengan alasan bahwa keterangan-keterangan korban yang telah meninggal diberi oleh saksi-saksi yang mendekatinya, segera setelah berlaku atas serangan atas dirinya yang disebut pula namanya, mempunyai juga daya bukti, ditilik dari keadaan disekitar pemberian keterangan-keterangan. Ketetapan ini dikuatkan oleh Raad van Justice di Batavia. Dengan demikian, nyatalah bahwa kesaksian de auditu tidak dapat dirumuskan secara jelas bahwa kesaksian de auditu diterima ataukah tidak sebagai alat bukti, tergantung dari kenyataan-kenyataan kasus demi kasus. Keberatan terhadap kesaksian de auditu (testimonium de auditu) dahulu didasarkan kepada asas bahwa seluruh proses pembuktian langsung di depan hakim dan terdakwa mengikuti seluruh proses itu, yang merupakan pembuktian terbalik. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Ketentuan ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1984, Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Dalam putusan tersebut, ditegaskan bahwa orang tua terdakwa, polisi dan jaksa hanya menduga, tapi dugaan itu semua merupakan kesimpulan sendiri yang tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah. Mengenai isi hal apa yang diterangkan oleh saksi, tidaklah diatur oleh undang-undang. Berkaitan dengan ini, Adami Chazawi mengatakan bahwa : “........Asalkan bukan pendapat, keterangan saksi boleh mengenai segala hal atau segala sesuatu, asalkan keterangan itu penting dan relevan dengan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Pada pokoknya, isi keterangan saksi adalah fakta yang berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan, tentang terdakwa yang melakukannya dan tentang kesalahan terdakwa melakukannya. Keterangan saksi yang berhubungan dengan pembuktian telah terjadinya tindak pidana adalah semua keterangan yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Artinya, keterangan yang memuat tentang fakta-fakta yang membuktikan tentang adanya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.” Keterangan saksi yang berhubungan dengan pembentukan keyakinan hakim bahwa terdakwa yang melakukannya adalah semua keterangan yang memuat fakta-fakta mengenai locus dan tempus tindak pidana berikut fakta-fakta yang menandakan atau menunjukan bahwa terdakwalah yang melakukannya atau ikut terlibat melakukannya. Sedangkan isi keterangan saksi yang diperlukan hakim untuk membentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa, adalah semua keterangan yang menyangkut hal keadaan batin terdakwa sebelum berbuat, seperti kehendak dan pengetahuan mengenai segala hal baik mengenai perbuatan yang hendak dilakukannya maupun obyek tindak pidana serta segala sesuatu yang ada disekitar perbuatan dan obyek perbuatan sebagaimana yang ada dalam rumusan tindak pidana. 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Prinsip minimum pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Agar supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa maka harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Jadi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP maka keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lainnya atau kesaksian tunggal maka kesaksian seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa satu saksi bukan merupakan saksi (unus testis nullus testis). Ketentuan tersebut di atas, dapat disimpangi berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (3) KUHAP, jika seandainya terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya maka dalam hal ini keterangan seorang saksi saja sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa karena disamping keterangan saksi tunggal, telah dicukupi dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa. Dengan demikian, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Mencermati uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah : a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh keterangan dua orang saksi. b. Atau kalau keterangan saksi hanya terdiri dari seorang saja atau kesaksian tunggal maka kesaksian tunggal tersebut harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain. Penerapan dalam praktek peradilan pidana, mengenai ketentuan dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan yang telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juni 1993, Nomor : 11 K/Pid/1982. Oleh Pengadilan Tinggi tersebut, terdakwa III memungkiri ikut melakukan pemukulan terhadap korban, sedangkan saksi L. Manurung hanya melihat terdakwa III memegang korban. Adapun saksi R.br. Gultom dan O.S.br. Siahaan adalah keluarga dekat korban, karena itu keterangan mereka dinilai sangat subyektif dan meragukan. Berdasarkan alasan tersebut, sekalipun terdakwa III mengakui melihat pemukulan yang dilakukan terdakwa I dan V dari jarak 15 meter, hal itu tidak dapat memperkuat keterangan saksi L. Manurung. Dengan demikian, dakwaan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah berdasar alat bukti yang ditentukan undang-undang, karena hanya ada seorang saksi saja. Oleh karena itu, agar supaya keterangan saksi tunggal mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka keterangan saksi tunggal tersebut harus dicukupi dengan salah satu alat bukti yang lain, baik berupa keterangan ahli, surat, petunjuk maupun dengan keterangan/pengakuan terdakwa. Akan tetapi ketentuan tersebut, hanya berlaku dalam proses pemeriksaan perkara acara biasa. Dalam pemeriksaan perkara acara cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah, seperti yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 184 KUHAP, maka dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat, keterangan seorang saksi saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Sering terjadi kekeliruan pendapat sementara orang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian adalah keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara kuantitatif telah mempunyai batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan satu sama lain yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya di sidang pengadilan hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu berdiri sendiri tanpa hubungan satu dengan yang lain. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, D. Simons, menyatakan bahwa : “Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan seorang saksi untuk suatu unsur (bestanddeel) delik dan tidak bertentangan dengan Pasal 342 ayat (2) Ned. Sv.” Penerapan dalam praktek peradilan pidana terhadap uraian tersebut di atas, dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 17 April 1978, Nomor : 28 K/Kr./1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam perkara ini, ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar keterangannya di sidang pengadilan. Akan tetapi, dari sekian banyak saksi tersebut, hanya satu saksi yang dapat dinilai sebagai alat bukti, sedang saksi-saksi selebihnya hanya bersifat keterangan yang berdiri sendiri tanpa saling berhubungan. Sebagai alat bukti petunjuk saja tidak mencukupi. Mahkamah Agung Republik Indonesia, menilai keterangan saksi yang banyak itu, sama sekali tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Disinilah dituntut kemampuan dan ketrampilan penyidik untuk mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif dapat memberikan keterangan yang saling berhubungan. Bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Uraian tersebut di atas, merupakan kehendak dari ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang pada intinya menegaskan bahwa keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dengan demikian, keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa yang berdiri sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti atau paling-paling dikategorikan sebagai saksi tunggal yang tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan tidak cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika keterangan para saksi yang banyak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, mengakibatkan keterangan yang saling bertentangan itu, harus disingkirkan sebagai alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum, keterangan semacam itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian. B. Cara Menilai Kebenaran Keterangan Saksi Dalam menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara keterangan-keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi, menuntut kewaspadaan hakim untuk sungguh-sungguh memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yakni : 1. Persesuaian keterangan para saksi. Standar penilaian ini sangat sesuai dan berhubungan erat dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) yang menyatakan bahwa keterangan satu saksi saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam doktrin dikenal dengan istilan unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukanlah saksi. Oleh karena itu, agar keterangan seorang saksi dapat berharga haruslah bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Saling persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim, sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. Jangan seperti yang sering terjadi penguraian analisis persesuaian itu hanya diuraikan secara mengambang dan deskriptif. Malah kadang-kadang analisis persesuaian itu hanya tertuang dalam suatu ungkapan atau kesimpulan singkat yang berbunyi bahwa keterangan para saksi telah memperhatikan persesuaian, oleh karena itu kesalahan terdakwa telah terbukti dan kalau dicari persesuaian itu dalam pertimbangan, tidak dijumpai. 2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain. Dalam konteks ini, jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan pengadilan terdiri dari saksi dengan alat bukti lain, baik berupa ahli, surat atau petunjuk. Hakim dalam sidang maupun dalam pertimbangannya, harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi itu dengan alat bukti yang lain tersebut. Lebih lanjut, Adami Chazawi mengatakan bahwa standar penilaian keterangan saksi kedua sama dengan standar yang pertama. Dari ketentuan standar penilaian yang kedua ini dapatlah disimpulkan bahwa dalam menggunakan alat bukti keterangan saksi, bukan menjadi keharusan untuk lebih dari satu. Satu saja sudah cukup, misalnya keterangan saksi korban, tetapi harus didukung atau bersesuaian dengan setidak-tidaknya satu alat bukti lainnya, misalnya keterangan terdakwa atau alat bukti petunjuk. Artinya, harus setidak-tidaknya didukung oleh 2 (dua) alat bukti yang sah. Dari dua alat bukti yang sah ini hakim boleh membentuk keyakinannya. 3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu. Dalam konteks ini, hakim harus mencari alasan saksi, mengapa saksi memberikan keterangan seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi. Misalnya saksi menerangkan, bahwa saksi tidak dapat memastikan apakah benar-benar terdakwa yang dilihatnya pada saat peristiwa pidana terjadi, akan tetapi baik dari raut muka, tinggi badan serta rambutnya, sangat bersesuaian betul dengan terdakwa. Dalam contoh ini, saksi memberikan keterangan dengan suatu pernyataan keadaan yang kurang pasti. Untuk itu hakim harus menggali alasan saksi. Mungkin alasan saksi benar-benar mempunyai dasar alasan yang diterima akal. Umpamanya, sebagai saksi tidak berani memastikan terdakwalah yang dilihatnya sebagai pelaku tindak pidana, karena kejadian itu terjadi pada waktu malam, sehingga yang dapat dilihatnya hanya ciri-ciri pelaku saja. Atau sudah lama penglihatan saksi kabur yang menyebabkan dia tidak dapat mengenal dengan pasti pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, Adami Chazawi mengatakan bahwa : “Agak berbeda dengan alasan didapatnya pengetahuan mengenai suatu peristiwa pidana yang diterangkan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP. Apa yang dimaksud dengan alasan pengetahuan di sini adalah segala sesuatu yang menjadi sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang peristiwa yang diterangkan saksi. Menurut pasal ini ada kewajiban saksi setiap kali menerangkan tentang sesuatu kejadian atau peristiwa, ia harus menerangkan juga sebab apa saksi mengetahui tentang peristiwa itu. Ratio ketentuan ini adalah untuk menghindarkan saksi memberikan keterangan yang berupa pendapat atau rekaan. Agar segala sesuatu keterangan saksi adalah segala hal yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri atau dialaminya sendiri.” Lebih lanjut, Adami Chazawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu dalam Pasal 185 ayat (6) huruf c ini adalah berupa alasan yang terselubung yang tidak perlu diucapkan secara tegas di depan sidang, tetapi merupakan hasil dari pemikiran atau analisis atas fakta-fakta yang terungkap dalam sidang. Berkaitan dengan alasan saksi memberikan keterangan tertentu, dalam tataran praktek peradilan pidana, dapat dilihat putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1982, Nomor : 185 K/Pid/1982. Dalam putusan ini Mahkamah Agung menguatkan menyetujui pertimbangan Pengadilan Tinggi Medan yang menilai keterangan saksi R. Br. Gultom dan O.S. br. Siahaan, tidak mempunyai nilai pembuktian. Alasan yang mendasari pendapat itu, bertitik tolak dari anggapan adanya keadaan tertentu yang mendorong dan melatarbelakangi saksi-saksi memberi keterangan yang memberatkan terdakwa III, yakni kedua saksi adalah keluarga dekat korban. Berdasarkan latar belakang itu, maka Pengadilan Tinggi menilai keterangan kedua saksi dimaksud merupakan keterangan yang bersifat subyektif dan meragukan. Terlepas dari setuju atau tidak, telah bertitik tolak dari kemungkinan adanya hal-hal yang mendorong saksi sengaja memberatkan kesalahan terdakwa III. Titik tolak kemungkinan itu menurut Pengadilan Tinggi, karena kedua saksi adalah keluarga dekat korban. 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap keterangan saksi. Mendasari rumusan Pasal 185 ayat (6) huruf d dapat disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) keadaan/faktor yang dapat mempengaruhi tentang kebenaran keterangan saksi, yaitu : a. Cara hidup saksi b. Kehidupan kesusilaan saksi c. Segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi. Rupanya pembentuk undang-undang berpendapat bahwa banyak hal yang mempengaruhi orang untuk berkata yang benar. Bagi tiap-tiap orang itu tidak sama. Setidak-tidaknya dapat dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal tersebut. Oleh karena itu, Pasal 185 ayat (6) memberi petunjuk agar dalam hal menilai keterangan saksi perlu memperhatikan tiga hal/keadaan yang dapat mempengaruhi kebenaran tentang yang diterangkan saksi. Tiga keadaan tersebut tidak diterangkan lebih lanjut dalam penjelasan pasal yang bersangkutan. Dalam cara hidup ini masuk banyak hal yang menyangkut pribadi seorang/saksi. Termasuk pekerjaan atau cara yang bersangkutan mencari nafkah, pendidikannya, hubungan sosial, kedudukan sosial dalam masyarakat, kebiasaan atau hobi, sifat pribadi, akhlak, ketakwaan dan keimanan, kegiatan sehari-hari, pengalaman hidupnya dan lain sebagainya. Kehidupan kesusilaan adalah segala hal yang berhubungan dengan masalah kelamin atau nafsu birahi. Sifat pribadi yang berhubungan dengan masalah ini misalnya, suka kawin dan tidak lama meninggalkan istri dan anaknya begitu saja, suka jajan, suka berjudi, pemabuk dan lain sebagainya. Segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi adalah segala sesuatu di luar cara hidup dan kesusilaan saksi, tetapi keadaan ini menurut akal dapat mempengaruhi kualitas keterangan saksi. Misalnya, pengalaman hidup saksi, pendidikan saksi dan lain sebagainya. Selain 4 (empat) hal tersebut di atas, menurut Adami Chazawi, dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim perlu juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi. Redaksi Pasal 164 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : “Setiap kali seorang saksi memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.” Tanggapan terdakwa atas keterangan saksi dapat diperhatikan dalam menilai keterangan saksi tersebut. Walaupun sifatnya bukan merupakan keharusan sebagaimana ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, tetapi dalam praktek acapkali pula menjadi pertimbangan, terutama bagi jaksa penuntut umum dimuat dalam requisitoir yang dibuatnya. Hal ini dapat diterima, karena pembenaran terdakwa atas keterangan saksi dapat dianggap sebagai alat bukti keterangan terdakwa apabila disertai dengan penjelasan-penjelasan atau alasan secukupnya dan masuk akal. 2. Persesuaian keterangan saksi di sidang dengan keterangan saksi di penyidikan. Walaupun persesuaian keterangan saksi di penyidikan bukan sebagai syarat dari kekuatan bukti suatu keterangan saksi, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Namun tidaklah dilarang apabila hakim dalam menilai keterangan saksi dengan memperhatikan persesuaian pada keterangan yang bersangkutan di tingkat penyidikan. Pasal 163 KUHAP mengisyaratkan tentang hal itu. Pertimbangan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 163 KUHAP yang memerintahkan pada hakim untuk mengingatkan saksi jika keterangannya di sidang berbeda dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Akan tetapi hakim tidak perlu meminta saksi menerangkan alasan mengapa berbeda, hakim hanya meminta pada panitera agar mencatat keterangan perbedaan itu. Tentu ada maksud dari ketentuan Pasal 163 KUHAP ini. Maksud ketentuan Pasal 163 KUHAP, tiada lain agar hakim dalam menilai keterangan saksi perlu memperhatikan bagaimana keterangan saksi di tingkat penyidikan. Tentulah dalam memperhatikan dan menimbang tentang perbedaan itu, hakim perlu memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, artinya lebih condong pada keterangan di sidang pengadilan dengan mengabaikan keterangan saksi di tingkat penyidikan. Namun, bukan larangan jika hakim mempertimbangkan sebaliknya. Bergantung kepada alasan yang digunakan hakim dalam pertimbangannya tersebut dengan menghubungkannya pada fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti lainnya. Apabila hakim mengambil pertimbangan dengan mengabaikan keterangan di tingkat penyidikan, tentu dibenarkan oleh ketentuan Pasal 185 KUHAP. Memang itu landasannya, akan tetapi ketentuan Pasal 185 KUHAP ini harus diartikan bahwa setiap keterangan saksi di sidang adalah bernilai pembuktian. Bukan demikian maksudnya. Pasal 185 KUHAP ini harus diartikan bahwa hanya keterangan saksi di sidang saja yang boleh dipertimbangkan dalam hal untuk membentuk keyakinan. Dapat digunakan hakim apabila keterangan saksi tersebut memenuhi syarat-syarat untuk berharganya keterangan saksi tersebut di atas. Apabila tidak memenuhi syarat, tentulah harus diabaikan. Demikian juga, jika keterangan saksi di sidang bertentangan dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Keadaan tidak bersesuaian boleh dijadikan dasar pertimbangan untuk mengabaikan keterangan saksi di sidang, tetapi tidak boleh dijadikan dasar pertimbangan dalam hal hakim membentuk keyakinannya. Mengabaikan keterangan saksi di sidang yang kebetulan berbeda dengan keterangannya di tingkat penyidikan, tidak boleh dianggap sebagai pembenaran atas keterangan di tingkat penyidikan dan sebagai dasar untuk mengabaikan keterangan saksi di sidang saja. C. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Ditinjau dari segi sah atau tidaknya keterangan saksi yang diberikan dalam sidang persidangan, keterangan saksi dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) jenis : 1. Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah. Mengenai keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, bisa terjadi : a. Karena saksi menolak bersumpah. Kemungkinan saksi menolak untuk memberikan keterangan di bawah sumpah bisa terjadi sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP yang menerangkan bahwa : 1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. 2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam konteks ini, bahwa sekalipun penolakan untuk bersumpah atau berjanji tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap menolak untuk mengucapkan sumpah/janji sehingga pemeriksaan terhadap saksi dapat dilakukan. Dalam keadaan seperti ini, menurut ketentuan dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP, nilai keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan keyakinan hakim, apabila pembuktian yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah. Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata tidak dapat dihadirkan dipersidangan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP maka nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim datau dapat bernilai dan dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. c. Karena hubungan kekeluargaan. Keterangan saksi tanpa disumpah lazimnya karena terdapat hubungan keluarga, sebagaimana Pasal 168, Pasal 169, Pasal 185 ayat (7) dan Pasal 171 KUHAP. Adapun redaksi pasal-pasal tersebut di atas adalah : Pasal 168 KUHAP : Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. b. Saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 169 KUHAP : (1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah. (2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Pasal 185 ayat (7) KUHAP : Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Pasal 171 KUHAP : Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah : a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. Berdasarkan redaksi pasal-pasal tersebut di atas, maka keterangannya tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, tetapi dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim atau bernilai sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah sepanjang mempunyai persesuaian dan telah memenuhi batas minmum pembuktian. . Lebih lanjut, apakah hakim terikat untuk mempergunakan keterangan saksi tanpa sumpah atau janji, jika antara keterangan itu terdapat saling persesuaian ? Tidak, sama sekali hakim tidak terikat untuk mempergunakannya, tergantung kepada penilaian hakim, dalam arti hakim bersifat bebas untuk mempergunakannya tetapi sebaliknya dapat mengesampingkannya. Hakim tidak terikat untuk menilainya dan dapat dipergunakan sebagai tambahan pembuktian atau menguatkan keyakinan maupun sebagai petunjuk. 2. keterangan saksi yang disumpah. Dalam konteks ini, M. Yahya Harahap mengatakan bahwa bukan hanya unsur sumpah yang melekat pada keterangan saksi, agar keterangan saksi itu bernilai sebagai alat bukti yang sah, harus dipenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, yakni : a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa saksi akan menerangkan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. b. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan menyebut secara jelas sumber pengetahuannya. c. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. d. Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah (unus testis nullus testis), karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Lebih lanjut, M. Yahya Harahap, mengatakan bahwa dengan dipenuhinya syarat sahnya keterangan saksi tersebut, dengan sendirinya pula pada keterangan saksi tersebut melekat nilai kekuatan pembuktian. Mengenai sampai sejauh mana nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, M. Yahya Harahap menjelaskan sebagai berikut : a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya bahwa tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya pembuktian yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Dengan demikian, alat bukti keterangan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi. b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim, artinya hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan saksi. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran yang melekat pada keterangan saksi dan hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan saksi tersebut. Jika seandainya undang-undang menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, maka hakim tidak boleh menilai kekuatan pembuktiannya, hakim secara bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan, tidak lagi berwenang menilainya secara bebas. Namun dalam hal, hakim mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian, harus benar-benar bertanggung jawab. Jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus kepada kesewenang-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi. Kebebasan penilaian tanpa diawasi rasa tangggung yang tinggi, bisa berakibat orang yang jahat akan mengenyam keuntungan. Orang yang tak bersalah akan mengalami kesengsaraan. Oleh karena itu kebebasan hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi harus berpedoman pada tujuan mewujudkan kebenaran sejati.

TesisBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara hukum adalah negara yang diatur oleh hukum. Kekuasaan, kewenangan, kewajiban dan hak penguasa negara ditetapkan dalam hukum. Begitu pula sebaliknya, hak dan kewajiban-kewajiban rakyat sudah disebutkan dalam hukum. Indonesia sebagai negara hukum, secara eksplisit ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan negara Indonesia adalah “negara hukum”. Dalam suatu negara yang berdasarkan hukum, maka semua sikap, perbuatan, tingkah laku yang dilakukan oleh siapapun, baik penguasa (pemerintah) maupun rakyat atau warga negara bahkan negara itu sendiri semuanya harus tunduk pada hukum. Ideal sebuah negara hukum adalah terselenggaranya kekuasaan yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Albert V. Dicey mengaitkan prinsip negara hukum dengan rule of law, and not an man. Maknanya, hukum menjadi pemandu, pengendali, pengontrol dan pengatur dari segala aktifitas berbangsa dan bernegara. Ciri penting negara hukum (the rule of law) adalah supremacy of law, equality before the law, due process of law, prinsip pembagian kekuasaan, peradilan bebas tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, demokrasi, negara kesejahteraan (welfare state), transparansi dan kontrol sosial. Asas rule of law, berarti bahwa dalam penyelenggaraan negara, tindakan-tindakan penguasanya harus didasarkan hukum, bukan didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasa belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang. Dalam konteks perjuangan prinsip negara hukum hal itu tercermin dari sejumlah proses peradilan pidana yang wajar, transparan dan tidak berbasiskan “kekuasaan” . Karena itu, pembuktian merupakan masalah penting dalam proses peradilan pidana. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa terbukti dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, kepadanya dijatuhkan pidana. Pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan dan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-undang. Disamping itu, dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan bahwa penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, sebaliknya terdakwa atau penasehat hukum mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai cara-cara yang dibenarkan berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan. Alat bukti yang sah dalam pembuktian suatu perkara pidana secara eksplisit ditegaskan dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Penentuan alat-alat bukti dimaksudkan guna menjamin tegaknya kebenaran dan kepastian hukum bagi seseorang (penjelasan Pasal 183 KUHAP). Oleh karena itu, diluar alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja dan tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penilaian sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah. Pembuktian di luar jenis alat bukti sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Alat bukti yang sah dan lazim digunakan dalam pembuktian perkara pidana adalah keterangan saksi. Tidak ada suatu perkara pidana yang luput dari pembuktian dengan mempergunakan alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Eksistensi saksi sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar sendiri, dilihat sendiri dan dialami sendiri. Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa dan diharapkan dapat menimbulkan keyakinan kepada hakim bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat menentukan keberhasilan suatu proses peradilan pidana. Dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, seringkali muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota (kroon getuige/crown witness). Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan (deelneming) dan terhadap berkas perkara pidana tersebut dilakukan pemecahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Pemecahan berkas perkara pada dasarnya disebabkan faktor pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa sehingga berkas perkara yang semula diterima penuntut umum dari penyidik dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara. Dengan pemecahan berkas perkara dimaksud, maka masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain dan masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda sehingga masing-masing terdakwa dapat dijadikan saksi secara timbal balik. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara (splitsing) menjadi penting apabila dalam perkara pidana tersebut terdapat kurangnya bukti dan kesaksian. Pengaturan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana yang di splitsing, diatur dalam ketentuan Pasal 168 KUHAP, yang pada intinya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Secara normatif pengajuan dan penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional khususnya hak ingkar terdakwa (Pasal 52 KUHAP) dan hak terdakwa untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP) serta pelanggaran terhadap International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1996 sebagai instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005. Dalam kaitannya dengan penilaian implementasi prinsip-prinsip fair trial maka ICCPR digunakan sebagai instrumen acuan. Salah satu perkara pidana yang dilakukan splitsing sehingga menggunakan alat bukti keterangan saksi mahkota dalam pembuktian di sidang pengadilan adalah perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Sulawesi Tenggara berupa dana Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada UPTD (Unit Pelaksana Tekhnis Diknas) Samsat Kota Kendari periode Januari 2007 s/d Maret 2008, yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp.4.884.310.889,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta tiga ratus sepuluh ribu delapan ratus delapan puluh sembilan rupiah). Dalam pembuktian di sidang Pengadilan Negeri Kendari, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, melakukan pemecahan berkas perkara (splitsing) terhadap 6 (enam) orang tersangka/terdakwa yaitu : 1. Berkas Perkara I, terdakwa Drs. H.M. Yusuf Ponea selaku Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, periode 1 Januari 2007 sampai dengan Mei 2007. 2. Berkas Perkara II, terdakwa Drs. Sultan Ramli, SH selaku Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, periode September 2007 sampai dengan Februari 2008 (berkas perkara ini belum berkekuatan hukum tetap). 3. Berkas Perkara III, terdakwa Marjuddin Malik, S.Sos selaku Bendahara Penerimaaan Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara. 4. Berkas Perkara IV, terdakwa H. Sumardi, SE selaku Bendahara Pengeluaran Dinas Pendapatan Propinsi Sulawesi Tenggara (berkas perkara ini belum berkekuatan hukum tetap) 5. Berkas Perkara V, terdakwa adalah Wakil Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Sulawesi Tenggara, periode 27 Agustus 2007 sampai dengan Juni 2009. 6. Berkas Perkara VI, terdakwa adalah Drs. La Ode Asri Bonea selaku Plt. Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Sulawesi Tenggara periode Mei 2007 sampai dengan September 2007 (berkas perkara ini belum berkekuatan hukum tetap) Oleh karena berkas perkara dilakukan pemecahan (splitsing), maka masing-masing terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan yang berdiri sendiri antara satu dengan yang lain dan masing-masing terdakwa diperiksa di depan sidang Pengadilan Negeri Kendari dalam persidangan yang berbeda sehingga masing-masing terdakwa dijadikan saksi secara timbal balik. Hal yang menarik adalah majelis hakim Pengadilan Negeri Kendari menyatakan bahwa semua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Dalam arti, bahwa dalam perkara pidana korupsi yang dilakukan splitsing tersebut, tidak ada satupun terdakwa yang dinyatakan oleh majelis hakim tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum sehingga semua terdakwa yang dijadikan saksi mahkota tersebut dijatuhkan hukuman pidana. Lalu bagaimana nilai pembuktian keterangan saksi mahkota dalam perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Sulawesi Tenggara berupa dana pajak daerah dan retribusi daerah pada UPTD (Unit Pelaksana Tekhnis Diknas) Samsat Kota Kendari periode Januari 2007 s/d Maret 2008) ? Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul tesis : “NILAI PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA YANG DI SPLITSING” (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor : 06/Pid.B/2010/PN.Kdi, Nomor : 07/Pid.B/2010/PN. Kdi dan Nomor : 33/Pid.B/2011/PN.Kdi). B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Permasalahan yang di identifikasi dalam latar belakang masalah adalah sebagai berikut : a. Penggunaan alat bukti keterangan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana yang di splitsing menjadi penting apabila dalam suatu perkara pidana terdapat kurangnya bukti dan kesaksian. b. Secara normatif, penggunaan alat bukti keterangan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana yang di splitsing merupakan pelanggaran terhadap KUHAP sebagai instumen hukum nasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1996 sebagai instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005. 2. Pembatasan Masalah Dalam tesis ini, penulis hanya menganalisis 3 (tiga) putusan dari 6 (enam) putusan Pengadilan Negeri Kendari karena 3 (tiga) putusan lainnya, oleh terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum masih mengajukan upaya hukum berupa banding ataupun kasasi sehingga 3 (tiga) putusan tersebut, belum berkekuatan hukum tetap (incrah). Pokok pembahasan yang dilakukan oleh penulis bersifat terbatas yakni hanya menganalisis terhadap pokok permasalahan yang berhubungan dengan kedudukan hukum saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing serta menganalisis Putusan Pengadilan Negerti Kendari tentang nilai pembuktian keterangan saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana Kedudukan Hukum Saksi Mahkota Dalam Perkara Pidana Yang di Splitsing ? b. Bagaimana Nilai Pembuktian Keterangan Saksi Mahkota Dalam Perkara Pidana Yang di Splitsing (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor : 06/Pid.B/2010/PN.Kdi, Nomor : 07/Pid.B/2010/PN.Kdi dan Nomor : 33/Pid.B/2011/PN.Kdi) ? C. Kerangka Teori Pembuktian bersalah tidaknya seorang terdakwa yang disangka melakukan tindak pidana haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sehingga tidak ada seseorang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman atau kalau memang bersalah jangan sampai mendapatkan hukuman yang tidak seimbang dengan kesalahannya. Pada dasarnya aspek pembuktian perkara pidana, telah dimulai pada tahap penyelidikan. Dalam tahap penyelidikan yakni tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sehingga pada tahapan ini sudah ada pembuktian. Demikian juga dengan penyidikan yakni adanya rangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dengan tolak ukur ketentuan Pasal 1 angka (2) dan angka (5) KUHAP, untuk dapat dilakukannya tindakan penuntutan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, bermula dilakukan dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan, sehingga sejak tahap awal diperlukan pembuktian dengan alat-alat bukti. Kongkretnya, pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir di depan sidang pengadilan baik di tingkat pengadilan negeri atau pengadilan tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan dengan upaya banding. Tujuan dan kegunaan pembuktian bagi penuntut umum dalam pemeriksaan di sidang pengadilan adalah untuk meyakinkan hakim, berdasarkan alat-alat bukti yang ada agar hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan surat dakwaannya sedangkan bagi terdakwa atau penasehat hukum berusaha sebaliknya untuk meyakinkan hakim berdasarkan alat-alat bukti yang ada agar hakim menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum tidak terbukti sehingga terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum atau meringankan pidananya, untuk itu terdakwa atau penasehat hukumnya jika memungkinkan harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya serta bagi hakim proses pembuktian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada baik yang berasal dari penuntut umum maupun terdakwa/penasehat hukum dibuat atas dasar untuk membuat keputusan. Pada hakikatnya pembuktian memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan “kebenaran materiel (materiele waarheid)” akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Proses pembuktian ini ada korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiel melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut : 1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan di depan sidang pengadilan? 2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya? 3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu ? 4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah? Dalam persidangan hal-hal tersebut diatas, dapat menimbulkan 3 (tiga) kemungkinan putusan majelis hakim yaitu sebagai berikut : 1. Putusan bebas (vrijspraak), yakni dalam hal hakim atau majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan tidak meyakinkan. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yakni dalam hal hakim atau majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. 3. Putusan pemidanaan, yakni dalam hal hakim atau majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Pedoman hakim atau majelis hakim dalam persidangan untuk menjatuhkan salah satu putusan terhadap terdakwa dari 3 (tiga) kemungkinan putusan tersebut diatas, harus mengacu kepada sistem pembuktian yang dianutnya. Ilmu pengetahuan hukum mengenal ada 4 (empat) sistem pembuktian yaitu : 1. Teori atau sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction in time). Conviction in time merupakan sistem pembuktian yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim, dengan menarik keyakinan atas kesimpulan dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Dengan demikian, dapat saja hakim mengambil kesimpulan hanya mendasarkan pada alat bukti keterangan terdakwa dan mengabaikan alat-alat bukti lainya seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan pertunjuk. Pada sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Teori ini oleh Suharto RM disebut juga dengan teori subyektif murni. Kelemahan dari sistem pembuktian ini, hakim dalam putusannya mendasarkan pada keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup dan sekaligus bebas menentukan putusan bebas kepada terdakwa dari tindak pidana, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti. Dengan bertumpu pada keyakinan semata tanpa didukung alat bukti yang sah, telah cukup membuktikan atau tidak membuktikan kesalahan terdakwa, sehingga dengan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim atas nasib terdakwa, maka keyakinan hakim yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian. Sistem ini memberikan kebebasan terlalu besar kepada hakim, sehingga hakim akan sulit diawasi, dan bagi terdakwa maupun penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam praktek peradilan di Prancis pertimbangan berdasarkan sistem ini mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh. Menurut Wirjono Projodikoro, sistem pembuktian conviction in time pernah dianut di Indonesia yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim dapat menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan dukun atau medium. Lebih lanjut, Andi Hamzah mengatakan bahwa pengadilan swapraja dan pengadilan adat menganut sistem ini, hal ini selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli hukum. 2. Teori atau sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan logis (conviction raisonee) Conviction in time, asasnya identik dengan sistem conviction raisonee. Pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, akan tetapi peranan keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Syaiful Bakhri mengatakan bahwa pada conviction raisonee, hakim memegang peranan penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa, tetapi faktor keyakinan hakim dibatasi dengan dukungan-dukungan dan alasan-alasan yang jelas. Hakim berkewajiban menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya dengan alasan yang dapat diterima secara akal dan bersifat yuridis. Sistem ini oleh Andi Hamzah sebagaimana dikutip Syaiful Bakhri disebut sebagai sistem yang bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrij bewijstheorie) atau disebut juga sebagai jalan tengah berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu, sistem ini terpecah menjadi dua jurusan yakni, pertama adalah berdasarkan atas keyakinan hakim (conviction in time) dan kedua adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negative wettelijk bewijstheorie). Kesamaan dari 2 (dua) sistem pembuktian tersebut adalah sama-sama berdasarkan atas keyakinan hakim artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan berdasarkan ilmu pengetahuan hakim itu sendiri tentang pilihannya terhadap alat bukti yang dipergunakan, sehingga menurut undang-undang telah ditentukan secara limitatif dan harus diikuti oleh keyakinan hakim. Sistem ini berpangkal tolak pada keyakinan hakim dan pada sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. 3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) Teori atau sistem pembuktian ini didasarkan kepada alat-alat pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Oleh Andi Hamzah sistem pembuktian ini disebut juga teori pembuktiaan formal (formele bewijstheorie). Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian conviction in time karena dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim tidak mempunyai arti, prinsipnya hakim berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Hakim tidak lagi berpedoman pada keyakinannya, seolah-olah hakim adalah robot dari pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Kebaikan teori ini, hakim mempunyai kewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan berbagai alat bukti yang sah oleh undang-undang. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa jika sistem pembuktian secara positif dibandingkan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction in time) maka sistem pembuktian secara positif lebih sesuai karena prinsip penghukumannya berdasarkan hukum artinya bahwa penjatuhan pidana tidak semata-mata berada atau diletakkan pada kewenangan hakim melainkan atas dasar kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas bahwa penjatuhan hukuman atau pemidanaan kepada seorang terdakwa baru dapat dilakukan apabila telah berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang bahwa apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti. Lebih lanjut, Syaiful Bakhri mengemukakan bahwa sistem pembuktian ini mengikat hakim secara ketat untuk menuruti peraturan-peraturan secara keras sehingga menyingkirkan semua pertimbangan-pertimbangan subyektif hakim. Sistem pembuktian menurut undang-undang terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang diatur dalam undang-undang. Teori atau sistem pembuktian semacam ini tidak mendapat penganut lagi dan pernah dianut di Eropa sewaktu masih berlakunya asas inquisatoir dalam acara pidana. Wiryono Prodjodikoro menolak pemberlakuan sistem pembuktian ini di Indonesia karena bagaimana mungkin hukum dapat menetapkan suatu kebenaran, selain dengan cara menyatakan keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur, bermartabat dan memiliki pengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat. 4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjtheory) Negatief wettelijk bewisjtheory merupakan suatu sistem pembuktian yang mendasarkan pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convinction in time). Oleh karena itu, sistem pembuktian ini merupakan suatu keseimbangan antara kedua sistem pembuktian yang bertolak belakang secara ekstrim dan mengambungkannya secara terpadu dengan rumusan yang dikenal “bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”. Bertitik tolak pada pandangan tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keyakinan hakim, harus juga didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang sah. Sehingga terjadi keterpaduan antara unsur subyektif dan obyektif dalam menentukan kesalahan terdakwa dan tidak terjadi dominasi diantara keduanya. Dalam praktek peradilan, sistem ini akan mudah terjadi penyimpangan terutama pada hakim yang tidak tegar, tidak terpuji, demi mendapatkan keuntungan pribadi melalui putusannya yang terselubung unsur keyakinan hakim saja. Sehingga faktor keteguhan dan kesempurnaan prinsip diri hakim masih berperan dalam tugasnya sebagai pemutus hukum berdasarkan keadilan terhadap tuhan yang maha esa. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Syaiful Bakhri, mengemukakan bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjtheory) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan yaitu pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan, janganlah hakim menjatuhkan pidana karena ketidakyakinannya terhadap kesalahan terdakwa. Kedua, adalah berfaedah, jika ada aturan hukum yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melaksanakan peradilan. Tujuan dari sistem pembuktian adalah untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dilakukan pemeriksaan, dimana kekuatan pembuktian yang dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti dan keyakinan hakim. Terdapat 6 (enam) butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori atau sistem pembuktian, yakni : 1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgonden). 2. Alat-alat bukti yang digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen). 3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering). 4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht). 5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast). 6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum). D. Kerangka Konseptual Proses penyelesaian suatu perkara pidana, awalnya bermula pada tahap penyelidikan yakni serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP). Jika dalam proses penyelidikan diketemukan bahwa suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana maka penyelidikan ditingkatkan ke penyidikan, yakni serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya yaitu seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apabila dalam proses penyidikan telah diketemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, maka berkas perkara hasil penyidikan tersebut dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum untuk selanjutnya dilakukan penuntutan di depan sidang pengadilan berupa tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP) dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Setelah berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, maka penuntut umum membuktikan surat dakwaannya dengan cara menghadirkan saksi, ahli, dan terdakwa di depan sidang pengadilan guna dilakukan pemeriksaan yang dipimpin oleh majelis hakim dan bagi tersangka maupun penasehat hukumnya berusaha untuk melemahkan dakwaan jaksa penuntut umum dengan sangkalan maupun menghadirkan saksi/ahli yang menguntungkannya serta bagi hakim, alat-alat bukti di depan sidang pengadilan menjadi pedoman untuk menguatkan keyakinannya dalam menjatuhkan putusan. Apabila dari hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan majelis hakim mendapatkan keyakinan maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Alat-alat bukti yang sah, sebagai pedoman hakim dalam menjatuhkan putusan mengenai apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana, diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP. Adapun alat bukti yang sah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, saksi lihat sendiri dan saksi alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. 2. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 3. Alat bukti surat yaitu surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 4. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. 5. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Dalam pembuktian perkara pidana di depan pengadilan, seringkali muncul alat bukti keterangan saksi yang disebut dengan istilah saksi mahkota (kroon getuige/crown witness). Saksi Mahkota adalah saksi yang berasal atau diambil dari tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan tindak pidana (strafbaar feit). Munculnya saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana, dapat dilihat dalam perkara yang berbentuk penyertaan (deelneming) yaitu tindak pidana yang pelakunya terdiri dari beberapa orang. Penggunaan saksi mahkota guna pembuktian suatu perkara pidana dilakukan dengan metode splitsing yaitu dengan cara melakukan pemecahan berkas perkara sehingga dalam pembuktian di depan sidang pengadilan para terdakwa didakwa secara terpisah dan dijadikan saksi secara timbal balik. Guna menghindari multi penafsiran dalam penulisan tesis ini maka penulis memberikan definisi operasional sebagai berikut : 1. Pembuktian adalah ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang guna dipergunakan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 2. Nilai pembuktian adalah sifat pembuktian dalam menentukan kesalahan terdakwa. E. Metodologi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Mendasari pokok permasalahan yang telah diuraikan penulis, maka tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan hukum saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing. b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana nilai pembuktian keterangan saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor : 06/Pid.B/2010/PN.Kdi, Nomor : 07/Pid.B/2010/PN.Kdi dan Nomor : 33/Pid.B/2011/PN.Kdi). 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dalam bentuk praktis adalah : 1) Bagi aparat penegak hukum diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai kedudukan hukum saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing dan memberikan wawasan tentang nilai pembuktian keterangan saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing 2) Bagi pembaca/peneliti, diharapkan dapat menambah wawasan, melengkapi dan mengembangkan perbendaharaan ilmu hukum pidana serta diharapkan dapat memberikan gambaran/masukan secara komprehensif dalam mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai nilai pembuktian keterangan saksi mahkota dalam perkara pidana yang di splitsing. Kegunaan dalam bentuk teoritis yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan konstribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu hukum pidana. 3. Metode Penelitian Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke” Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah : “Cara atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan berpikir yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil dan rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum yang tertentu”. Agar penyusunan tesis ini memperoleh hasil yang diinginkan, maka diperlukan suatu data yang akurat melalui penelitian dengan mengumpulkan bahan hukum, menyusun, mengklasifikasikan dan menganalisis serta menginterpretasikannya. Bertolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini, digunakan metode dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, yakni mengkonsepkan hukum sebagai kaidah norma yang merupakan patokan prilaku, dengan menekankan pada sumber data sekunder. b. Sumber Bahan Hukum. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah : 1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa Perundang-undangan. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diperoleh melalui rancangan undang-undang, buku, internet dan pendapat pakar hukum. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus hukum dan kamus bahasa Inggris-Indonesia. c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum. Bahan hukum dikumpulkan berdasarkan pokok permasalahan penelitian dan penulisan bertitik tolak pada permasalahan yang telah dirumuskan. Kepustakaan yang dominan adalah kepustakaan hukum acara pidana dan kepustakaan yang berkaitan dengan pembuktian dalam perkara pidana. Disamping itu, dokumen-dokumen yang relevan dengan pokok permasalahan yaitu peraturan perundang-undangan dan terbitan resmi lainnya. d. Analisis Bahan Hukum. Bahan hukum yang diperoleh dilakukan analisis dengan metode analisis kualitatif. Dengan analisis tersebut, maka langkah-langkah yang ditempuh didasarkan atas langkah-langkah berpikir secara sistematis untuk memperoleh jawaban atas permasalahan hukum yang dijadikan pangkal tolak penelitian. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan tesis ini, penulis menguraikan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, terdiri : Latar Belakang Masalah, Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual, Metodologi Penelitian, yang dibagi menjadi beberapa sub bab yakni : Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian dan Metode Penelitian, terdiri : Jenis Penelitian, Sumber Bahan Hukum, Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum dan Analisis Bahan Hukum. Bab II Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana, terdiri : Syarat Sahnya Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti, Cara Menilai Kebenaran Keterangan Saksi dan Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi. Bab III Kedudukan Hukum Saksi Mahkota Dalam Perkara Yang di Splitsing, terdiri : Makna Saksi Mahkota Dalam Praktek, Saksi Mahkota Dalam RUU KUHAP, dan Saksi Mahkota dalam Pandangan Islam. Bab IV Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kendari Tentang Nilai Pembuktian Keterangan Saksi Mahkota Dalam Perkara Pidana Yang Di Splitsing. Bab V Kesimpulan dan Saran.